BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hubungan antar pemerintah merupakan fenomena
umum yang terjadi di semua Negara di dunia terlepas dari sistem
pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi
ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Tujuan
utama dari implementasi keuangan adalah untuk menginternalisasikan
eksternalitas fiskal yang muncul lintas daerah, perbaikan sistem perpajakan,
koreksi ketidakefisienan fiskal, dan pemerataan fiskal antar daerah.
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan
yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka
melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, Kebijakan Fiskal adalah suatu
kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi
lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Sayangnya, alokasi pendanaan di Indonesia pada
umumnya lebih didasarkan pada aspek pengeluaran pemerintah daerah tetapi kurang
memperhatikan kemampuan pengumpulan pajak local.
Akibatnya, dari tahun ke tahun pemerintah daerah akan selalu menuntut suplai yang lebih
besar lagi dari pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak local secara lebih
optimal.
Kondisi tersebut juga ditemui pada kasus
pemerintah daerah kota dan kabupaten di Indonesia. Data menunjukkan proporsi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mampu membiayai pengeluaran pemerintah
daerah paling tinggi sebesar 20 persen. Perimbangan antara transfer dan PAD
yang timpang ini juga masih terjadi pada era otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal. Di sisi lain, UU No. 34/2000 telah memberikan kewenangan bagi
pemerintah daerah untuk mengelola pajak dan retribusi daerah dalam rangka
mewujudkan kemandirian daerah.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana ruang
lingkup kebijakan fiskal ?
2. Bagaimana
Hubungan
Fiskal antar Pemerintah
Pusat?
3. Bagaimana hubungan fiskal antar lembaga
pemerintah yaitu BPK, DPR, dan DPD?
4. Bagaimana
Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ruang Lingkup Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah
langkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem
pajak atau dalam perbelanjaannya dengan maksud untuk mengatasi masalah-masalah
ekonomi yang dihadapi.[1]
Kebijakan memiliki dua prioritas, yang pertama
adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan
masalah-masalah APBN lainnya. Defisit APBN terjadi apabila penerimaan
pemerintah lebih kecil dari pengeluarannya. Dan yang kedua adalah mengatasi
stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain ; pertumbuhan
ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja dan neraca pembayaran.[2]
Sedangkaan, kebijakan fiskal
terdiri dari perubahan pengeluaran pemerintah atau perpajakkan dengan tujuan
untuk mempengaruhi besar serta susunan permintaan agregat. Indicator yang biasa
dipakai adalah budget defisit yakni selisih antara pengeluaran pemerintah (dan
juga pembayaran transfer) dengan penerimaan terutama dari pajak.[3]
Berdasarkan dari
beberapa teori dan pendapat yang dijelaskan diatas dapat kita simpulkan bahwa
kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah
dalam pengelolaan keuangan negara untuk mengarahkan kondisi perekonomian
menjadi lebih baik yang terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi
pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN.
Fungsi Utama Kebijakan Fiskal
1. Fungsi Alokasi, yaitu untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi yang
tersedia dalam masyarakat sedemikian rupa sehingga kebutuhan masyarakat berupa Public
goods seperti jalan, jembatan, pendidikan dan tempat ibadah dapat terpenuhi
secara layak dan dapat dinikmati oleh seluruhn masyarakat.
2. Fungsi Stabilisasi, agar terpeliharanya keseimbangan ekonomi terutama
berupa kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga-harga umum yang relatif
stabil dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai.[4]
3. Fungsi Distribusi, yaitu fungsi yang mempunyai tujuan agar pembagian
pendapatan nasional dapat lebih merata untuk semua kalangan dan tingkat
kehidupan.
Bentuk – Bentuk Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas
tiga kategori, yaitu:
1. Kebijakan yang menyangkut perpajakan
Pajak
merupakan pendapatan yang paling besar di samping pendapatan yang berasal dari
migas. Baik perusahaan maupun rumah tangga mempunyai kewajiban melakukan pembayaran
pajak atas beberapa bahkan seluruh kegiatan yang dilakukan. Pajak yang
dibayarkan digunakan semata-mata untuk pembangunan negara tersebut. Kebijakan
pemerintah atas perpajakan mengalami pembaharuan dari waktu ke waktu, hal ini
disebut tax reform (pembaharuan pajak). Tax reform yang dilakukan pemerintah
mengikuti adanya perubahan di dalam masyarakat, seperti meningkatnya pendapatan.
2. Kebijakan yang menyangkut pembelian
pemerintah atas barang dan jasa
Pembelian pemerintah atau belanja
negara merupakan unsur di dalam pendapatan nasional yang dilambangkan dengan
huruf “G”. Pembelian atas barang dan jasa pemerintah ini mencakup pemerintah
daerah, dan pusat. Belanja pemerintah ini meliputi pembangunan untuk jalan
raya, jalan tol, bangunan sekolah, gedung pemerintahan, peralatan kemiliteran,
dan gaji guru sekolah.
3. Kebijakan yang menyangkut pembayaran
transfer
Pembayaran
transfer meliputi kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, dan
tunjangan pensiun. Jika dilihat pembayaran transfer merupakan bagian belanja
pemerintah tetapi sebenarnya pembayaran tansfer tidak masuk dalam komponen G di
dalam perhitungan pendapatan nasional. Alasannya yaitu karena transfer bukan
merupakan pembelian sesuatu barang yang baru diproduksi dan pembayaran tersebut
bukan karena jual beli barang dan jasa. Pembayaran transfer mempengaruhi
pendapatan rumah tangga, namun tidak mencerminkan produksi perekonomian. Karena
PDB dimaksudkan untuk mengukur pendapatan dari produksi barang dan jasa serta
pengeluaran atas produksi barang dan jasa, pembayaran transfer tidak dihitung
sebagai bagian dari belanja pemerintah.
Salah
satu gagasan utama Keynes pada tahun 1930-an adalah kebijakan fiskal dapat dan
hendaknya digunakan untuk menstabilkan tingkat keluaran dan peluang kerja.
Secara spesifik menurut Keynes, terdapat dua hal yang dapat dilakukan oleh
pemerintah dalam kebijakan fiskal yaitu:
1) Kebijakan fiskal ekspansioner yaitu
memotong pajak dan/atau menaikkan pengeluaran untuk mengeluarkan perekonomian
dari penurunan.
2) Kebijakan fiskal kontraksioner yaitu menaikkan pajak dan/atau
memangkas pengeluaran untuk mengeluarkan perekonomian dari inflasi.
Dari
sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada
ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan
meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya
kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output
industri secara umum.
B.
Hubungan Fiskal antar Pemerintah Pusat
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. APBN merupakan
wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan
undang-undang. APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan
pembiayaan. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
Pemerintah Pusat menyampaikan
pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran
berikutnya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Dalam hal ini perumus
kebijakan (presiden, DPR), pengawas keuangan (BPK, BPKP), pelaksana keuangan
(Depkeu, Depdagri, Departemen Teknis) harus mengupayakan agar kebijakan fiskal
benar-benar bermanfaat bagi rakyat banyak.
Dalam hal pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang
telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun
anggaran berakhir.
C.
Hubungan BPK dan DPR
Naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, yang disusun oleh
the founding fathers kita menugaskan BPK sebagai satu- satunya auditor yang
melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Berbeda dengan di banyak negara lain, Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan BPK
sejajar dengan lembaga- lembaga negara yang ada dalam struktur negara kita.
Selain tetap mempertahankan pemberian hak eksklusif pemeriksaan keuangan negara
kepada BPK, perubahan ketiga dari UUD 1945 justru telah memperkuat
posisinya dengan memberikan kedudukan yang “bebas dan mandiri" kepada BPK.
Baik naskah asli maupun perubahan, UUD 1945 menjunjung tinggi transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. itulah
sebabnya mengapa diberikan kedudukan tinggi, kebebasan dan kemandirian kepada
BPK. Maksudnya adalah agar BPK dapat melaksanakan tugasnya secara objektif. BPK
dapat
memeriksa dan melaporkan keuangan negara sebagaimana adanya, bebas dari pengaruh maupun tekanan politik. Termasuk dari ketiga cabang pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun judikatif. Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada rakyat banyak, utamanya pembayar pajak, melalui wakil-wakilnya di
DPR serta DPRD sebagai pemegang hak bujet. Seperti halnya DPR, DPD juga menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan Pemerintah Pusat. Sementara itu, DPRD menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah daerahnya masing-masing. Semuanya itu diatur dalam UU No. 22 tentang Susduk MPR,
DPR, DPD dan DPRD (Pasa147) dan UU No. 15 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Pasal 17, ayat 1). Walaupun DPD tidak memiliki hak bujet, posisinya sangat penting. Karena DPD memiliki
fungsi memberikan pertimbangan kepada DPR dalam hal penyusunan Rancangan APBN Pemerintah Pusat maupun dalam mengawasi pelaksanaannya setelah menjadi APBN. Dengan menggunakan hak legislasinya, DPR dan DPRD
memiliki hak dan wewenang masing-masing untuk menindak lanjuti temuan-
temuan BPK. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa BPK
memantau pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaannya itu. BPK pun dapat memproses secara pidana auditee yang tidak serius melakukan koreksi
terhadap temuannya. Temuan- temuan yang mengandung unsur pidana seperti ini wajib diserahkan oleh BPK kepada penegak hukum. Temuan pemeriksaan BPK tersebut merupakan bukti awal yang dapat diperdalam dan ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Memenuhi amanat konstitusi, BPK juga menerima penugasan
dari lembaga pemegang hak bujet (DPR dan DPRD) untuk melakukan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan khusus itu juga dapat dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri, baik atas dasar permintaan pemerintah, pengaduan masyarakat maupun pendalaman pemeriksaan.
memeriksa dan melaporkan keuangan negara sebagaimana adanya, bebas dari pengaruh maupun tekanan politik. Termasuk dari ketiga cabang pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun judikatif. Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada rakyat banyak, utamanya pembayar pajak, melalui wakil-wakilnya di
DPR serta DPRD sebagai pemegang hak bujet. Seperti halnya DPR, DPD juga menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan Pemerintah Pusat. Sementara itu, DPRD menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah daerahnya masing-masing. Semuanya itu diatur dalam UU No. 22 tentang Susduk MPR,
DPR, DPD dan DPRD (Pasa147) dan UU No. 15 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Pasal 17, ayat 1). Walaupun DPD tidak memiliki hak bujet, posisinya sangat penting. Karena DPD memiliki
fungsi memberikan pertimbangan kepada DPR dalam hal penyusunan Rancangan APBN Pemerintah Pusat maupun dalam mengawasi pelaksanaannya setelah menjadi APBN. Dengan menggunakan hak legislasinya, DPR dan DPRD
memiliki hak dan wewenang masing-masing untuk menindak lanjuti temuan-
temuan BPK. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa BPK
memantau pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaannya itu. BPK pun dapat memproses secara pidana auditee yang tidak serius melakukan koreksi
terhadap temuannya. Temuan- temuan yang mengandung unsur pidana seperti ini wajib diserahkan oleh BPK kepada penegak hukum. Temuan pemeriksaan BPK tersebut merupakan bukti awal yang dapat diperdalam dan ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Memenuhi amanat konstitusi, BPK juga menerima penugasan
dari lembaga pemegang hak bujet (DPR dan DPRD) untuk melakukan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan khusus itu juga dapat dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri, baik atas dasar permintaan pemerintah, pengaduan masyarakat maupun pendalaman pemeriksaan.
D.
Hubungan BPK dengan DPR & DPD
Pemerintah BPK merupakan satu lembaga negara yang
memiliki tugas memeriksa keuangan Negara secara bebas dan mandiri. Di dalam
pelaksanaan tugas tersebut, BPK berhubungan dengan DPR dan DPD selaku lembaga
perwakilan yang memiliki fungsi legilasi, budget dan pengawasan serta
Pemerintah selaku pelaksana keuangan negara. Hubungan tersebut mempengaruhi
pelaksanaan tugas masing-masing lembaga negara. Bagi BPK, hubungan
dengan DPR dan DPD serta pemerintah berpengaruh terhadap pengelolaan
pemeriksaan keuangan Negara sebagai berikut:
1. Perencanaan Pemeriksaan Di dalam penyusunan rencana
pemeriksaan, BPK harus melakukan komunikasi secara intensif dengan DPR, DPD dan
pemerintah. Hal ini dilakukan agar pemeriksaan yang dilakukan BPK sesuai dengan kebutuhan,
perhatian, dan mencapai sinergi dari DPR, DPD, dan Pemerintah.
2.
Pelaksanaan
Pemeriksaan Pelaksanaan pemeriksaan juga perlu dikomunikasikan dengan baik
dengan DPR, DPD dan Pemerintah. Sesuai standar pemeriksaan yang lazim, BPK perlu
meminta tanggapan atas pelaksanaan pemeriksaannya untuk menilai keandalan hasil
pemeriksaannya di lapangan serta mengkomunikasikan hambatan yang ditemui.
3. Pelaporan Hasil Pemeriksaan Laporan hasil pemeriksaan
merupakan produk
pemeriksaan yang harus dapat menarik dan dipahami oleh DPR, DPD, dan Pemerintah.
pemeriksaan yang harus dapat menarik dan dipahami oleh DPR, DPD, dan Pemerintah.
Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Keefektifan
pemeriksaan
terletak pada tindak lanjutnya, sehingga BPK harus aktif memantau tindak lanjut tersebut dan menyampaikannya kepada DPR, DPD, dan pemerintah untuk diambil keputusan yang tepat.
terletak pada tindak lanjutnya, sehingga BPK harus aktif memantau tindak lanjut tersebut dan menyampaikannya kepada DPR, DPD, dan pemerintah untuk diambil keputusan yang tepat.
E.
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah –
Desentralisasi Fiskal
Hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten kota saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai suatu
sistem pemerintahan. Salah satu wujud pelaksanaan otonomi daerah ini adalah
dengan adanya otonomi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah yang disebut
otonomi fiskal atau desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah diberikan sumber-
sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan
kepada daerah untuk mengelola keuangan daerahnya. Daerah diberikan
kewenangan dalam menggali sumber- sumber penerimaan sesuai dengan potensi yang
dimiliki. Undang- undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah yang kemudian diganti dengan UU No 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah mengatur hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan tersebut mengatur kewenangan daerah
dalam menggali pendapatan asli daerah dan dana transfer dari pemerintah pusat.
Prinsip dari desentralisasi fiskal tersebut adalah money
follow functions, dimana pemerintah daerah mendapat kewenangan dalam
melaksanakan fungsi pelayanan dan pembangunan di daerahnya. Pemerintah pusat
memberikan dukungan dengan menyerahkan sumber- sumber penerimaan kepada daerah
untuk dikelola secara optimal agar mampu membiayai daerahnya dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya. Disamping pemerintah pusat juga memberikan dana transfer
yang dapat dikelola daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Tujuannya adalah untuk mengatasi ketimpangan fiskal dengan pemerintah
pusat dan antar pemerintah daerah lainnya. Untuk meminimilaisir ketergantungan
Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat melalui dana transfer tersebut,
daerah dituntut dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam menggali potensi
pendapatannya. Sumber- sumber pendapatan asli daerah tersebut berupa: pajak
daerah, retribusi daerah, laba usaha milik daerah dan pendapatan lain yang sah.
Undang- undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Daerah mengamanatkan bahwa daerah boleh
meningkatkan pendapatan asli daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Kemudian dengan ditetapkannya Undang- undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak dan Retribusi Daerah menyempurnakan pelaksanaan desentralisasi
fiskal dengan adanya tambahan terhadap sumber- sumber penerimaan daerah dalam
bentuk pajak dan retribusi daerah. Kebijakan tersebut pada dasarnya semakin
memperluas daerah untuk menggali sumber- sumber pendapat asli daerahnya dari
komponen- komponen pajak dan retribusi daerah.
Pada prinsipnya kebijakan desentralisasi fiskal mengharapkan
ketergantungan daerah terhadap pusat berkurang, sehingga mampu mencapai
kemandirian daerah sebagaimana tercapainya tujuan otonomi itu sendiri.
Menurut Halim (2007), ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal
mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi sumber keuangan
terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Sejalan dengan Waluyo, (2007) yang mengatakan bahwa idealnya semua pengeluaran
daerah dapat dipenuhi dengan menggunakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga
daerah dapat benar- benar otonom, tidak lagi tergantung ke pemerintah pusat.
Dengan demikian Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki peran yang sangat sentral dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Daerah disebutkan bahwa PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Dengan demikian Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki peran yang sangat sentral dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Daerah disebutkan bahwa PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Santosa dan Rahayu (2005) menyebutkan bahwa PAD sebagai
salah satu peneriamaan daerah mencerminkan tingkat kemandirian daerah. Semakin
besar PAD maka menunjukan bahwa daerah mampu melaksanakan desentralisasi fiskal
dan ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat berkurang. Namun demikian
kebijakan- kebijakan desentralisasi fiskal yang ada tidak sertamerta dapat
membangun kemandirian daerah dengan cepat. Landiyanto (2005) dalam
penelitiannya tentang Kinerja Keuangan Dan Strategi Pembangunan Kota Di Era
Otonomi Daerah Di Kota Surabaya menemukan bahwa ketergantungan daerah terhadap
pusat masih tinggi karena belum optimalnya penerimaan dari PAD dan belum
optimalnya pendapatan/laba BUMD. Sampai saat ini potensi pendapatan asli daerah
masih menitikberatkan pada perolehan pajak dan retibusi daerah. Butuh waktu
yang lama untuk membangun kemandirian daerah dalam membiayai anggaran
pengeluaran belanja daerah minimal belanja pegawainya. Sampai saat ini
ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat melalui dana perimbangan masih
cukup besar. Kawung (2008) meneliti kemampuan keuangan Daerah Provinsi Sulawesi
Utara masih rendah yakni sebesar 30,66% terhadap penerimaan daerah, yang
artinya peranan PAD masih kurang dan perlu ditingkatkan. Dari uraian diatas
menunjukan bahwa kemampuan keuangan daerah yang direpresentasikan dari
pendapatan asli daerah (PAD) masih menitik beratkan pada komponen pajak dan
retribusi. Kemampuan PAD dalam mengurangi ketergantungan masih perlu di teliti
dalam perannya mengakomodasi pembiayaan belanja daerah minimal belanja
rutinnya. Kapasitas PAD sebagai salah satu indikator pembentuk kemandirian
sebuah daerah perlu di teliti dan dievaluasi selama perjalanan desentralisasi
fiskal di negeri ini.[5]
Hubungan Pemerintah Daerah dan Badan Pengelola
Dana Masyarakat terdapat pada Pasal 25, dalam hal ini Menteri Keuangan membina
dan mengawasi pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah
Pusat.
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka
perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan
anggaran daerah adalah sebagai berikut:
- Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah.
- Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
- Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnya.
- Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.
- Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH dan PNS-daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
- Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan.
- Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
- Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
- Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
Adapun
lembaga-lembaga yang sudah dipercaya dalam hubungan dengan pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah terkait dengan fiscal seperti pengelolaan Layanan
Nasabah DPLK, Lembaga Pengelolaan Zakat, Lembaga Pembangunan Masjid,
Pengelolaan Wakaf, dan lain-lain. Lembaga-lembaga yang terkait dengan proses kebijakan fiskal harus
mengoptimalkan fungsinya masing-masing sejalan dengan demokrasi. Dengan ini Kebijakan Fiskal dapat tercapai dengan kondisi perekonomian yang
lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN