Sabtu, 01 Juni 2013

hubungan fiskal antar lembaga pemerintah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hubungan antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua Negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya  dan bahkan sudah menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Tujuan utama dari implementasi keuangan adalah untuk menginternalisasikan eksternalitas fiskal yang muncul lintas daerah, perbaikan sistem perpajakan, koreksi ketidakefisienan fiskal, dan pemerataan fiskal antar daerah.
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Sayangnya, alokasi pendanaan di Indonesia pada umumnya lebih didasarkan pada aspek pengeluaran pemerintah daerah tetapi kurang memperhatikan kemampuan pengumpulan pajak local.
Akibatnya, dari tahun ke tahun  pemerintah  daerah akan selalu menuntut suplai yang lebih besar lagi dari pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak local secara lebih optimal.
Kondisi tersebut juga ditemui pada kasus pemerintah daerah kota dan kabupaten di Indonesia. Data menunjukkan proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mampu membiayai pengeluaran pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20 persen. Perimbangan antara transfer dan PAD yang timpang ini juga masih terjadi pada era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Di sisi lain, UU No. 34/2000 telah memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengelola pajak dan retribusi daerah dalam rangka mewujudkan kemandirian daerah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana ruang lingkup kebijakan fiskal ?
2.      Bagaimana Hubungan Fiskal antar Pemerintah Pusat?
3.      Bagaimana hubungan fiskal antar lembaga pemerintah yaitu BPK, DPR, dan DPD?
4.      Bagaimana Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ruang Lingkup Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah  langkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam perbelanjaannya dengan maksud untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi.[1]
Kebijakan memiliki dua prioritas, yang pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan masalah-masalah APBN lainnya.  Defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil dari pengeluarannya. Dan yang kedua adalah mengatasi stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain ; pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja dan neraca pembayaran.[2]
Sedangkaan,  kebijakan fiskal terdiri dari perubahan pengeluaran pemerintah atau perpajakkan dengan tujuan untuk mempengaruhi besar serta susunan permintaan agregat. Indicator yang biasa dipakai adalah budget defisit yakni selisih antara pengeluaran pemerintah (dan juga pembayaran transfer) dengan penerimaan terutama dari pajak.[3]
Berdasarkan dari beberapa teori dan pendapat yang dijelaskan diatas dapat kita simpulkan bahwa kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara untuk mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik yang terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN.

Fungsi Utama Kebijakan Fiskal
1.      Fungsi Alokasi, yaitu untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi yang tersedia dalam masyarakat sedemikian rupa sehingga kebutuhan masyarakat berupa Public goods seperti jalan, jembatan, pendidikan dan tempat ibadah dapat terpenuhi secara layak dan dapat dinikmati oleh seluruhn masyarakat.
2.      Fungsi Stabilisasi, agar terpeliharanya keseimbangan ekonomi terutama berupa kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga-harga umum yang relatif stabil dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai.[4]
3.      Fungsi Distribusi, yaitu fungsi yang mempunyai tujuan agar pembagian pendapatan nasional dapat lebih merata untuk semua kalangan dan tingkat kehidupan.
Bentuk – Bentuk Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu:
1.      Kebijakan yang menyangkut perpajakan
Pajak merupakan pendapatan yang paling besar di samping pendapatan yang berasal dari migas. Baik perusahaan maupun rumah tangga mempunyai kewajiban melakukan pembayaran pajak atas beberapa bahkan seluruh kegiatan yang dilakukan. Pajak yang dibayarkan digunakan semata-mata untuk pembangunan negara tersebut. Kebijakan pemerintah atas perpajakan mengalami pembaharuan dari waktu ke waktu, hal ini disebut tax reform (pembaharuan pajak). Tax reform yang dilakukan pemerintah mengikuti adanya perubahan di dalam masyarakat, seperti meningkatnya pendapatan.

2.      Kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atas barang dan jasa
Pembelian pemerintah atau belanja negara merupakan unsur di dalam pendapatan nasional yang dilambangkan dengan huruf “G”. Pembelian atas barang dan jasa pemerintah ini mencakup pemerintah daerah, dan pusat. Belanja pemerintah ini meliputi pembangunan untuk jalan raya, jalan tol, bangunan sekolah, gedung pemerintahan, peralatan kemiliteran, dan gaji guru sekolah.


3.      Kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer
Pembayaran transfer meliputi kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, dan tunjangan pensiun. Jika dilihat pembayaran transfer merupakan bagian belanja pemerintah tetapi sebenarnya pembayaran tansfer tidak masuk dalam komponen G di dalam perhitungan pendapatan nasional. Alasannya yaitu karena transfer bukan merupakan pembelian sesuatu barang yang baru diproduksi dan pembayaran tersebut bukan karena jual beli barang dan jasa. Pembayaran transfer mempengaruhi pendapatan rumah tangga, namun tidak mencerminkan produksi perekonomian. Karena PDB dimaksudkan untuk mengukur pendapatan dari produksi barang dan jasa serta pengeluaran atas produksi barang dan jasa, pembayaran transfer tidak dihitung sebagai bagian dari belanja pemerintah.
         Salah satu gagasan utama Keynes pada tahun 1930-an adalah kebijakan fiskal dapat dan hendaknya digunakan untuk menstabilkan tingkat keluaran dan peluang kerja. Secara spesifik menurut Keynes, terdapat dua hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam kebijakan fiskal yaitu:
1)      Kebijakan fiskal ekspansioner yaitu memotong pajak dan/atau menaikkan pengeluaran untuk mengeluarkan perekonomian dari penurunan.
2)      Kebijakan fiskal kontraksioner yaitu menaikkan pajak dan/atau memangkas pengeluaran untuk mengeluarkan perekonomian dari inflasi.
Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

B.     Hubungan Fiskal antar Pemerintah Pusat
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Dalam hal ini perumus kebijakan (presiden, DPR), pengawas keuangan (BPK, BPKP), pelaksana keuangan (Depkeu, Depdagri, Departemen Teknis) harus mengupayakan agar kebijakan fiskal benar-benar bermanfaat bagi rakyat banyak.
Dalam hal pertanggungjawaban pelaksanaan APBN Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

C.    Hubungan BPK dan DPR
Naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, yang disusun oleh the founding fathers kita menugaskan BPK sebagai satu- satunya auditor yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Berbeda dengan di banyak  negara lain, Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan BPK sejajar dengan lembaga- lembaga negara yang ada dalam struktur negara kita. Selain tetap mempertahankan pemberian hak eksklusif pemeriksaan keuangan negara kepada BPK, perubahan ketiga dari UUD 1945 justru telah memperkuat posisinya dengan memberikan kedudukan yang “bebas dan mandiri" kepada BPK. Baik naskah asli maupun perubahan, UUD 1945 menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. itulah sebabnya mengapa diberikan kedudukan tinggi, kebebasan dan kemandirian kepada BPK. Maksudnya adalah agar BPK dapat melaksanakan tugasnya secara objektif. BPK dapat
memeriksa dan melaporkan keuangan negara sebagaimana adanya, bebas dari pengaruh maupun tekanan politik. Termasuk dari ketiga cabang pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun judikatif. Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada rakyat banyak, utamanya pembayar pajak, melalui wakil-wakilnya di
DPR serta DPRD sebagai pemegang hak bujet. Seperti halnya DPR, DPD juga menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan Pemerintah Pusat. Sementara itu, DPRD menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah daerahnya masing-masing. Semuanya itu diatur dalam UU No. 22 tentang Susduk MPR,
DPR, DPD dan DPRD (Pasa147) dan UU No. 15 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Pasal 17, ayat 1). Walaupun DPD tidak memiliki hak bujet,  posisinya sangat penting. Karena DPD memiliki
fungsi memberikan pertimbangan kepada DPR dalam hal penyusunan Rancangan APBN Pemerintah Pusat maupun dalam mengawasi pelaksanaannya setelah menjadi APBN. Dengan menggunakan hak legislasinya, DPR dan DPRD
memiliki hak dan wewenang masing-masing untuk menindak lanjuti temuan-
temuan BPK. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa BPK
memantau pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaannya itu. BPK pun dapat memproses secara pidana auditee yang tidak serius melakukan koreksi
terhadap temuannya. Temuan- temuan yang mengandung unsur pidana seperti ini wajib diserahkan oleh BPK kepada penegak hukum. Temuan pemeriksaan BPK tersebut merupakan bukti awal yang dapat diperdalam dan ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Memenuhi amanat konstitusi, BPK juga menerima penugasan
dari lembaga pemegang hak bujet (DPR dan DPRD) untuk melakukan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan khusus itu juga dapat dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri, baik atas dasar permintaan pemerintah, pengaduan masyarakat maupun pendalaman pemeriksaan.

D.    Hubungan BPK dengan DPR & DPD

Pemerintah BPK merupakan satu lembaga negara yang memiliki tugas memeriksa keuangan Negara secara bebas dan mandiri. Di dalam pelaksanaan tugas tersebut, BPK berhubungan dengan DPR dan DPD selaku lembaga perwakilan yang memiliki fungsi legilasi, budget dan pengawasan serta Pemerintah selaku pelaksana keuangan negara. Hubungan tersebut mempengaruhi pelaksanaan tugas masing-masing lembaga negara. Bagi BPK, hubungan dengan DPR dan DPD serta pemerintah berpengaruh terhadap pengelolaan pemeriksaan keuangan Negara sebagai berikut:
1.      Perencanaan Pemeriksaan Di dalam penyusunan rencana pemeriksaan, BPK harus melakukan komunikasi secara intensif dengan DPR, DPD dan pemerintah. Hal ini dilakukan agar pemeriksaan yang dilakukan BPK sesuai dengan kebutuhan, perhatian, dan mencapai sinergi dari DPR, DPD, dan Pemerintah.
2.      Pelaksanaan Pemeriksaan Pelaksanaan pemeriksaan juga perlu dikomunikasikan dengan baik dengan DPR, DPD dan Pemerintah. Sesuai standar pemeriksaan yang lazim, BPK perlu meminta tanggapan atas pelaksanaan pemeriksaannya untuk menilai keandalan hasil pemeriksaannya di lapangan serta mengkomunikasikan hambatan yang ditemui.
3.      Pelaporan Hasil Pemeriksaan Laporan hasil pemeriksaan merupakan produk
pemeriksaan yang harus dapat menarik dan dipahami oleh DPR, DPD, dan Pemerintah.
Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Keefektifan pemeriksaan
terletak pada tindak lanjutnya, sehingga BPK harus aktif memantau tindak lanjut tersebut dan menyampaikannya kepada DPR, DPD, dan pemerintah untuk diambil keputusan yang tepat.

E.    Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah – Desentralisasi Fiskal
Hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan. Salah satu wujud pelaksanaan otonomi daerah ini adalah dengan adanya otonomi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah yang disebut otonomi fiskal atau desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah diberikan sumber- sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola keuangan daerahnya.  Daerah diberikan kewenangan dalam menggali sumber- sumber penerimaan sesuai dengan potensi yang dimiliki.  Undang- undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang kemudian diganti dengan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah  mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan tersebut mengatur kewenangan daerah dalam menggali pendapatan asli daerah dan dana transfer dari pemerintah pusat.
Prinsip dari desentralisasi fiskal tersebut adalah money follow functions, dimana pemerintah daerah mendapat kewenangan dalam melaksanakan fungsi pelayanan dan pembangunan di daerahnya. Pemerintah pusat memberikan dukungan dengan menyerahkan sumber- sumber penerimaan kepada daerah untuk dikelola secara optimal agar mampu membiayai daerahnya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Disamping pemerintah pusat juga memberikan dana transfer yang dapat dikelola daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tujuannya adalah untuk mengatasi ketimpangan fiskal dengan pemerintah pusat dan antar pemerintah daerah lainnya. Untuk meminimilaisir ketergantungan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat melalui dana transfer tersebut, daerah dituntut dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam menggali potensi pendapatannya. Sumber- sumber pendapatan asli daerah tersebut berupa: pajak daerah, retribusi daerah, laba usaha milik daerah dan pendapatan lain yang sah.
Undang- undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Daerah mengamanatkan bahwa daerah boleh meningkatkan pendapatan asli daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Kemudian dengan ditetapkannya Undang- undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah menyempurnakan pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan adanya tambahan terhadap sumber- sumber penerimaan daerah dalam bentuk pajak dan retribusi daerah. Kebijakan tersebut pada dasarnya semakin memperluas daerah untuk menggali sumber- sumber pendapat asli daerahnya dari komponen- komponen pajak dan retribusi daerah.
Pada prinsipnya kebijakan desentralisasi fiskal mengharapkan ketergantungan daerah terhadap pusat berkurang, sehingga mampu mencapai kemandirian daerah sebagaimana tercapainya tujuan otonomi itu sendiri.  Menurut Halim (2007), ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sejalan dengan Waluyo, (2007) yang mengatakan bahwa idealnya semua pengeluaran daerah dapat dipenuhi dengan menggunakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga daerah dapat benar- benar otonom, tidak lagi tergantung ke pemerintah pusat.
Dengan demikian Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki peran yang sangat sentral dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Daerah disebutkan bahwa PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Santosa dan Rahayu (2005) menyebutkan bahwa PAD sebagai salah satu peneriamaan daerah mencerminkan tingkat kemandirian daerah. Semakin besar PAD maka menunjukan bahwa daerah mampu melaksanakan desentralisasi fiskal dan ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat berkurang. Namun demikian kebijakan- kebijakan desentralisasi fiskal yang ada tidak sertamerta dapat membangun kemandirian daerah dengan cepat. Landiyanto (2005) dalam penelitiannya tentang Kinerja Keuangan Dan Strategi Pembangunan Kota Di Era Otonomi Daerah Di Kota Surabaya menemukan bahwa ketergantungan daerah terhadap pusat masih tinggi karena belum optimalnya penerimaan dari PAD dan belum optimalnya pendapatan/laba BUMD. Sampai saat ini potensi pendapatan asli daerah masih menitikberatkan pada perolehan pajak dan retibusi daerah. Butuh waktu yang lama untuk membangun kemandirian daerah dalam membiayai anggaran pengeluaran belanja daerah minimal belanja pegawainya. Sampai saat ini ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat melalui dana perimbangan masih cukup besar. Kawung (2008) meneliti kemampuan keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Utara masih rendah yakni sebesar 30,66% terhadap penerimaan daerah, yang artinya peranan PAD masih kurang dan perlu ditingkatkan. Dari uraian diatas menunjukan bahwa kemampuan keuangan daerah yang direpresentasikan dari pendapatan asli daerah (PAD) masih menitik beratkan pada komponen pajak dan retribusi. Kemampuan PAD dalam mengurangi ketergantungan masih perlu di teliti dalam perannya mengakomodasi pembiayaan belanja daerah minimal belanja rutinnya. Kapasitas PAD sebagai salah satu indikator pembentuk kemandirian sebuah daerah perlu di teliti dan dievaluasi selama perjalanan desentralisasi fiskal di negeri ini.[5]
Hubungan Pemerintah Daerah dan Badan Pengelola Dana Masyarakat terdapat pada Pasal 25, dalam hal ini Menteri Keuangan membina dan mengawasi pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat.
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut:
  1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah.
  2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
  3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan  perangkat daerah lainnya.
  4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.
  5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH dan PNS-daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
  6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan.
  7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
  8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
  9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
Adapun lembaga-lembaga yang sudah dipercaya dalam hubungan dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terkait dengan fiscal seperti pengelolaan Layanan Nasabah DPLK, Lembaga Pengelolaan Zakat, Lembaga Pembangunan Masjid, Pengelolaan Wakaf, dan lain-lain.  Lembaga-lembaga yang terkait dengan proses kebijakan fiskal harus mengoptimalkan fungsinya masing-masing sejalan dengan demokrasi. Dengan ini Kebijakan Fiskal dapat tercapai dengan kondisi perekonomian yang lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.











BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

   


[1] Sadono Sukirno, 2003
[2] Tulus TH Tambunan , 2006
[3] Norpin, Ph. D. 1987
[4] Soediyono. R., 1992,hal. 89

1 komentar:

  1. The Ultimate Guide to the Sega Genesis - JT Hub
    In my 아산 출장마사지 time at Atari, the game development team 화성 출장안마 at Electronic Arts got involved with the console. That meant 강릉 출장안마 the original 포항 출장마사지 Mega 의정부 출장샵 Drive port

    BalasHapus