BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan ekonomi global, khususnya
dalam bidang perbankan ditandai dengan beroperasinya bank dengan prinsip
syariah. Tentunya membawa peluang dan risiko dalam dunia perbankan.persaingan yang
semakin ketat antara bank Islam maupun bank konvensional,perubahan lingkungan
makro yang tidak menentu, tuntutan berinovasi, menuntut bank islam untuk
mengelola strategi yang komprehensif. Risiko strategis yang mengikutinya pun
semakin komplek.
Bank Islam sebagai lembaga intermediasi yang menjembatani antara pihak surplus
dan pihak defisit tentunya rentan terhadap risiko yang timbul. Selain risiko
yang sama dengan yang ada pada bank konvensional,bank islam juga menghadapi
risiko yang unik terkait dengan pembiayaan dan investasi yang tidak ada pada
bank konvensional. Risiko ini terkait dengan bagi hasil dalam berinvestasi di
mana bank islam juga harus menanggung kerugian apabila investasi nasabah
mengalami kerugian.risiko strategi dan risiko investasi Selengkapnya akan di bahas
dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana risiko strategis bagi bank islam?
2. Apa saja definisi dan cak upan risiko strategis?
3. Apa saja faktor penentu risiko strategis dan mitigasinya?
4. Bagaimana isu-isu relevan terkait risiko strategis?
5. Bagaimana syirkah sebagai ciri khas bank islam?
6. Bagaimana konsep dasar risiko investasi?
7. Bagaimana bentuk risiko investasi
dan mitigasinya?
8. Bagaimana isu terkait risiko investasi pada bank islam?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui risiko strategis bagi bank islam?
2. Untuk mengetahui definisi dan cakupan risiko strategis?
3. Untuk mengetahui faktor penentu risiko strategis dan mitigasinya?
4. Untuk mengetahui isu-isu relevan terkait risiko strategis?
5. Untuk mengetahui syirkah sebagai ciri khas bank islam?
6. Untuk mengetahui konsep dasar risiko investasi?
7. Untuk mengetahui bentuk risiko investasi dan mitigasinya?
8. Untuk mengetahui isu terkait risiko investasi pada bank Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
RISIKO
STRATEGIS BANK ISLAM
A. Risiko
Strategis bagi Bank Islam
Bank, sebagaimana perusahaan komersil
lainnya, senantiasa dihadapkan pada persaingan, sejak awal berdirinya dan terus
ada seiring berjalannya kegiatan bisnis.Untuk, itu bank memerlukan perumusan
strategi yang matang dan bisa dieksekusi secara tepat untuk dapat bertahan
dalam persaingan tersebut, bahkan memenangkannya.
Ibarat berperang, kemenangan ditentukan oleh
adanya arahan strategi yang jelas terukur dari pimpinan tertinggi.arahan
tersebut nantinya akan diterjemahkan oleh komandan pasukan dalam bentuk
teknis-teknis pertahanan maupun penyerangan yang dijalankan di medan perang
.oleh, karena itu jika perang berakhir dengan kemenangan, kemungkinan besarnya
adalah strategi dan teknis oprasional sama-sama dirumuskan dan diterapkan
dengan baik.[1]
B. Definisi
dan Cakupan Risiko Strategis
BI melalui PBI Nomor 13/23/PBI/2011,
mendefinisikan risiko strategis sebagai resiko yang terpisah dari resiko
lainnya.Dalam PBI tersebut, yang di maksud dengan risiko strategis adalah
resiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu
keputusan strategis serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan
bisnis.
Risiko
Strategik tergolong sebagai risiko bisnis (bussiness risk) yang berbeda dengan
jenis risiko keuangan (financial risk) misalnya risiko pasar, atau risiko
kredit. Kegagalan bank mengelola risiko strategik dapat berdampak signifikan terhadap perubahan profil
risiko lainnya. Sebagai contoh, bank yang menerapkan strategi pertumbuhan DPK
dengan pemberian suku bunga tinggi, berdampak signifikan pada perubahan profil
risiko likuiditas maupun risiko suku bunga.
Risiko strategis umumnya timbul, antara lain
karena: Bank menetapkan strategi yang kurang sejalan dengan visi dan misi bank,
Melakukan analisis lingkungan strategis yang tidak komprehensif, Terdapat
ketidaksesuaian rencana strategis (strategic plan) antarlevel strategis.
Selain itu, risiko strategis juga bisa timbul
karena kegagalan dalam mengantisipasi perubahan teknologi, perubahan kondisi
ekonomis makro, dinamika kompetisi dipasar
dan perubahan kebijakan otoritas terkait. Selain disebab kan oleh factor-faktor diatas, risiko
strategis juga dapat dicuatkan oleh terjadinya perilaku para pemangku
kepentingan bank, seperti nasabah, pemasok, pemegang saham, karyawan maupun
public secara umum.
Sebelum
membahas masalah risiko strategik, ada baiknya kita menelaah kembali apa yang dimaksud dengan
manajemen strategi, yaitu serangkaian keputusan (decision) dan tindakan
(action) manajerial yang akan menentukan kinerja dan kelangsungan usaha Bank
dalam jangka panjang.[2]
Langkah
awal dalam manajemen strategi
adalah melakukan penilaian terhadap lingkungan bisnis (environmental scanning)
kemudian dilanjutkan dengan penyusunan strategi (strategi formulation). Tahap
berikutnya adalah implementasi strategi (strategi implementation) dan yang
terakhir adalah
evaluasi dan kontrol (evaluation & control) yang mencakup seluruh tahapan.
Berdasarkan hal tersebut, maka risiko strategik / stratejik dapat timbul
sebagai akibat kelemahan pada tahapan perencanaan (strategy planning),
implementasi (strategy implementation), evalusi (strategy evaluation) dan
analisa perubahan lingkungan (enviromental analysis). Uraian dari masing-masing
tahapan tersebut diuraikan sebagai berikut :
a.
Tahapan Perencanaan :
·
Kesesuaian strategi bank dengan visi, misi,
risk profile, risk appetite, risk tollerance dan risk bearing capacity
·
Strategi bank tidak hati-hati atau sangat
agresif dibandingkan dengan ukuran dan kompleksitas bank
·
Tidak dilakukan pengkinian strategi sesuai
dengan perubahan yang terjadi sehingga strategi menjadi tidak efektif dan
efisien
·
Bank terlalu yakin dengan pengalaman
sebelumnya, sehingga tidak mau melakukan inovasi sehingga strategi bank tidak
flesibel
·
Bank lambat dalam merespon perubahan dalam
kegiatan operasionalnya sehingga tidak mempertimbangkan kebutuhan untuk
melakukan perubahan strategi
b.
Tahap Implementasi :
·
Implementasi bank tidak memadai karena tidak
adanya dukungan operasional / fungsional (IT, SDM)
·
Bank tidak memiliki SDM berpengalaman dalam
mengimplementasi strateginya.
·
Sumber daya untuk mengimplementasikan
strategi tidak memadai, sehingga tidak memenuhi target yang telah ditetapkan.
c.
Tahap Evaluasi :
·
Bank tidak memiliki sistem monitoring untuk
mengevaluasi progree dari penetapan strategi bank.
d.
Tahap Analisa Perubahan Bisnis
·
Kelemahan bank memenuhi ekspektasi nasabah
·
Kelemahan bank menyikapi persaingan
C. Faktor
Penentu Risiko Strategis dan Mitigasinya
1. Perubahan peta persaingan bisnis
Persaingan bisnis
berubah di antaranya karena adanya pemain baru yang masuk kedalam industri atau
munculnya substitusi baru. Dalam dunia perbankan, ada yang cukup menarik dimana
bank-bank besar cenderung menganggap “remeh” bank-bank kecil yang baru masuk
kedalam industry tersebut, terutama di masa-masa awal bank-bank kecil tadi
memulai bisnisnya. Jargon “too big too fail” sepertinya masih menancap betul,
sehingga bank-bank yang kecil dianggap hanya akan bertahan sementara kemudian
mati.[3] Faktor penentu resiko:
a.
Adanya
bank Islam baru yang masuk kedalam industry
Alternatif mitigasi risiko :
1)
Masuknya
bank Islam baru dalam industry bisa dipandang sebagai suatu rahmat bahwa
bank-bank ini akan lebih “meramaikan” geliat keuangan islami yang ada. Namun,
fenomena ini pun perlu ditanggapi dari kacamata bisnis. Jangan pernah sekalipun
menganggap remeh para pemain baru yang masuk. Bank perlu membentuk suatu task
force khusus yang meneliti seluk-beluk mengenai pemain baru ini, lalu
merekomendasikan bagaimana langkah terbaik untuk dapat berkompetisi secara
sehat dengan pemain baru ini.
2)
Pemain
baru jangan selalu dianggap sebagai musuh. Bisa saja mereka dijadikan partner
dalam berbisnis, sehingga praktik co-opetion dan bukan pure competition-lah
yang dilakukan.
b.
Munculnya
produk substitusi baru
Alternatif mitigasi risiko :
1)
Apa pun
produk baru yang muncul, bank islam harus berpegang teguh pada prinsip
kepatuhan terhadap nila-nilai islam. Jika produk baru yang ditawarkan bank
islam lain dianggap tidak sesuai dengan visi/misi bank, lebih baik untuk tidak
ikut-ikutan pada produk baru tersebut.
2)
Perlunya
membentuk satu tim komunikasi yang dapat menjelaskan keunggulan produk yang
dimiliki bank saat ini. Misalnya: jika bank tidak mau mengeluarkan Islamic
credit card karena kontraversinya, maka
bank bisa mengomunikasikan bahwa debit card atau setidaknya charge card adalah
lebih nyaman dan damai di hati, bank juga bisa membuat semacam brosur edukasi
financial planning yang didalamnya menjelaskan penggunaan kartu kredit yang
tidak begitu direkomendasikan dan sebagainya.
3)
Membentuk
divisi pengembangan produk dan membekalinya dengan pelatihan yang
berkesinambungan dan informasi update mengenai preferensi layanan nasabah.
2.
Kurang
Tepatnya Perumusan Strategi
Perumusan strategi
yang kurang tepat amat krusial dampaknya terhadap terjadinya risiko strategis.
Hal ini setidaknya bisa terjadi bila strategi yang diambil tidak sejalan dengan
visi dan misi bank, atau analisis lingkungan strategis yang dilakukan ternyata
tidak terlalu komprehensi, atau terdapat ketidaksesuaian antara rencana
strategis (strategic plan) pada satu bagian dengan bagian lainnya dalam suatu
bank. Faktor penentu resiko:
a
Strategi
tidak sejalan dengan visi/misi bank
Alternatif mitigasi risiko :
1)
Melakukan
monitoring atas implementasi visi dan misi secara berkala untuk memastikan
bahwa strategi bisnis dan capaian actual selaras dengan visi dan misi yang ada.
2)
Menginternalisasikan
visi dan misi yang ada dalam bentuk berbagai media komunikasi, seperti acara
bersama,poster,video, dan sebagainya.
b
Analisis
lingkungan strategis yang tidak komprehensif
Alternatif mitigasi risiko :
1)
Membentuk
divisi khusus yang menangani penyusunan strategi perusahaan. Divisi ini bisa
bekerja sama dengan konsultan, namun tetap harus mengambil peran utama dalam
pengambilan keputusan atas rumusan strategi yang akan dipilih.
2)
Menyusun
rencana A,B,C dan seterusnya berdasarkan analisis berbagai scenario yang
mungkin timbul dilingkungan. Hal ini membuat bank lebih fleksibel dalam
menjalankan strateginya karena sudah mengenal betul tentang kondisi yang akan
dijalaninya.
c
Ketidaksesuaian
rencana strategis (strategic plan) antarlevel strategis
Alternatif mitigasi risiko :
1)
Meningkatkan
koordinasi dan komunikasi antara level strategis agar strategi yang akan
diambil tidak menimbulkan konflik antarlevel strategis yang satu dan yang
lainnya.
2)
Menginternalisasikan
tujuan bersama yang akan diraih untuk menghindari sifat mementingkan diri
sendiri/egosentris antarlevel strategis.
3.
Tuntutan
Berinovasi
Perubahan
lingkungan bisnis yang pesat apalagi yang diakibatkan oleh adanya kemajuan
teknologi yang begitu cepat memaksa bank untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang ada. Salah satu perubahan besar dalam proses bisnis perbankan
mungkin bisa dinisbatkan pada hadirnya anjungan tunai mandiri (automated teller
machine-ATM). Bahkan, jumlah ATM (termasuk factor aksesibilitas lain sperti
lokasi bank dan jumlah cabang) menjadi factor kunci bagi konumen ketika memilih
sebuah bank. Tidak hanya ATMyang, inovasi yang juga dituntut oleh nasabah
adalah layanan bermuatan teknologi lainnya. Faktor Penentu Risiko:
a
Kurangnya
penelitian & pengembangan (R&D) dan tidak adanya perbaikan dalam proses
bisnis
Alternatif Mitigasi Risiko :
1)
Membentuk divisi khusus mengenai R&D, atau bisa
juga mengintegrasikannya dengan divisi pengembangan produk
2)
Berlangganan
media massa yang relevan atau database perbankan Islam yang ada agar mampu
mendapatkan informasi terbaru mengenai ekspektasi public terhadap bank.
3)
Mengadakan
kompetisi bisnis antar karyawan untuk meningkatkan kemampuan R&D internal
bank.
b
Kurang
adaptif terhadap kemajuan teknologi
Alternatif Mitigasi Risiko :
1)
Mengembangkan
sendiri fasilitas-fasilitas teknologi
yang diperlukan
2)
Bekerjasama
dengan pihak konsultan IT untuk mengembangkan fasilitas tersebut
3)
Bekerjasama
dengan bank lain untuk dapat menjalankan fasilitas berbasis teknologi secara
bersama. Contoh: ATM bersama.
4.
Perubahan
Lingkungan Makro
Setiap perubahan
berbagai kondisi mikro dan makro ekonomi akan turut mendorong terbentuknya
berbagai kondisi yang mengharuskan bank islam memutuskan apa yang harus
dilakukan dan strategi apa yang diterapkan agar tetap memperoleh return yang
diharapkan.[4]
Bank islam di
Indonesia tumbuh di dual banking system yang pasti secara langsung maupun tidak
langsung, dipengaruhi oleh lingkungan ekonomi makro Indonesia. Oleh karenanya,
semua perubahan yang terjadi dalam indikator ekonomi makro, kebijakan
pemerintah maupun otoritas perbankan, termasuk dimulainya era kerja sama
regional (seperti MEA, APEC,AFTA, dan sebagainya) juga akan berpengaruh
terhadap strategi yang harus disiapkan di bank islam.
Contoh perubahan
strategi yang timbul akibat perubahan kebijakan pemerintah mungkin bisa kita
lihat saat pemerintah memutuskan untuk melakukan amandemen terhadap
undang-undang perpajakan.Amandemen undang-undang ini salah satunya menegaskan
diberlakukannya penghapusan pajak ganda atas transaksi murabahah. Hal ini
sedikit-banyak berpengaruh pada lebih leluasanya bank islam menyalurkan
pembiayaan dalam bentuk akad murabahah.
5.
Perubahan
Perilaku Pemangku Kepentingan
Berbagai perubahan
di dunia sebagaimana didiskusikan sebelumnya mempengaruhi perubahan perilaku
para pemangku kepentingan bank,seperti nasabah, pemasok, pemegang saham, dan
karyawan. Nasabah yang semula tetap loyal walaupun dilayani dengan lama dan
tidak ramah, sekarang sudah tidak mau lagi diperlakukan seperti itu.Pemasok
yang sebelumnya bisa menunggu pembayaran yang tidak tepat waktu, sekarang sudah
memiliki kebijakannya masing-masing dan memilih meninggalkan konsumen yang
sulit diajak kerjasama.Pemegang saham pun demikian, selalu menuntut imbal hasil
yang makin kompetitif dan sesuai dengan target mereka yang menjulang.
D. Isu-isu
Relevan terkait Risiko Strategis
1.
Menghindari
persaingan yang tidak sehat
Esensi persaingan sebenarnya adalah suatu strategi, kreasi dan seni
dengan motif yang positif. Oleh sebab itu
kemasan persaingan harus elegan dengan mengacu kepada persaingan yang sehat. Sangat pasti para bankir masih mempunyai kreasi untuk memenangkan persaingan secara sehat dan
bermotif positif karena dari situlah
sebenarnya kualitas bankir
akan dinilai.
2.
Risiko
reputasi pada bank Islam
Risiko reputasi
adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder (al.Regulator, nasabah, masyarakat, manajemen bank dan
pegawai) yang bersumber dari
persepsi negatif terhadap bank. Diantara risiko yang dihadapi bank, risiko
reputasi merupakan risiko yang memiliki dampak paling signifikan dan dapat
mempengaruhi keberlangsungan usaha bank.
Perlu digarisbawahi, persepsi negatif yang menjadi sumber
risiko reputasi dapat timbul dari hal yang tidak secara nyata terjadi atau
hanya sekedar rumor. Rumor tentang kerugian yang dialami suatu bank, jika tidak
dikelola dengan baik dapat mengakibatkan timbulnya kekhawatiran berlebih dari
nasabah dan dalam skala yang lebih luas dapat mengakibatkan timbulnya penarikan
dana secara besar-besaran (‘bank rush’) dari sistem perbankan. Mengembalikan reputasi tentunya
membutuhkan biaya yang sangat besar dan waktu yang cukup. Hal tersebut di atas
menjadi landasan mengapa bank perlu mengelola risiko reputasi.
risiko reputasi dapat
timbul akibat faktor internal maupun eksternal bank. Kinerja industri perbankan
secara umum dan atau terjadinya krisis keuangan (un-controllable oleh
bank) merupakan area regulator. Sumber risiko internal dan langkah
mitigasi yang dilakukan bank merupakan area yang wajib dikelola oleh bank
melalui penerapan manajemen risiko reputasi.
Adapun dampak yang timbul
dari risiko reputasi dapat diuraikan sebagai berikut : Peningkatan cost of
funds (CoF), Kegagalan pencapaian strategi dan Rencana Bisnis Bank, Kehilangan
SDM berkualitas, Kehilangan nasabah maupun potensi nasabah, Penurunan rating
bank oleh lembaga bank[5]
BAB
III
PEMBAHASAN
RESIKO
INVESTASI BANK ISLAM
A.
Syirkah
Sebagai Ciri Khas Bank Islam
Mengelola lembaga
keuangan Syariah memang tidak boleh disamakan dengan mengelola keuangan di lembaga keuangan konvensional. Bank Syariah dengan sistem bagi hasil
dirancang untuk membina kebersamaan dalam menanggung resiko usaha dan berbagai
hasil usaha antara pemilik dana (Shahibbul Mal) yang menyimpan uangnya
dilembaga, selaku lembaga pengelola dana (Mudharib), dan masyarakat yang membutuhkan
dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha.
Bank syariah menjelaskan bahwa karakteristik sebagai
lembaga intermediasi investasi dan bank komersial secara sekaligus. Prototipe
kepemilikan bank syariah sama halnya dengan bank komersial, dimana para deposan
tidak turut memiliki bank dan juga tidak memiliki hak suara (voting right).
Dalam dialektika keuangan syariah ini bahwa sementara akad musharakah mencerminkan
pemilik ekuitas, tetapi siristik rmpanan dilakukan melalui akad mudharabah.
Bank syariah mempunyai kesamaan dengan lembaga intermediadi investasi, yaitu
dalam hal pembagian hal profit dari hasil operasionalnya dengan para pemegang
rekening investasi. Setelah membayar deposan bagian profitnya, sisa dari laba
bersih dibagikan kepada para pemegang saham sebagai deviden.
Model pembiayaan bagi hasil dalam bank syariah telah
mengubah karakteristik resiko yang dihadapi. Return atas tabungan atau
rekening investasi (deposito)menjadisatu kesatuan. Sebaaimana deposan diberi
imbalan berdasarkan metode profit and loss sharing (PLS) mereka juga
akan berbagi dalm risiko bisnis dari operasional bank. Karakteristik profit
and loss sharing dari deposan ini melahirkan jenis risiko lainnya. Terlebih
lagi, penggunaan model pembiayaan syari’ah pada sisi aset akan merubah
karakteristik risiko yang tradisional.[6]
B.
Konsep
Dasar Risiko Investasi
1.
Devinisi dan Cakupan Risiko
Investasi
Risiko investasi adalah risiko unik yang dihadapi bank Islam. Bank
konvensional tidak menghadapi risiko ini karena tidak menyalurkan pembiayaan
berbasis akad bagi hasil. Pada bank Islam, pembiayaan bagi hasil dapat
dilakukan dalam bentuk akad mudharabah, musyarakah,
Musaqaah, muzara’ah, mukharabah, dan sebagainya.
Sementara itu musyarakah dan Mudharabah adalah akad kerjasama antara
dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang diperbolehkan
secara syari’ah. Sebagaimana akad syirkah lainnya, keuntungan yang dihasilkan
oleh pengelolaan usaha bersama tersebut dibagi berdasarkan nisbah bagi hasil
yang sudah disepakati, sementara kerugian yang tejadi dibagi berdasarkan
proporsi modal yang disetorkan.[7]
Al Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari
muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan
pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari
hasil panen.
Al Muzara’ah dan
Mukharabah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari
hasil panen.[8]
Dalam berbagai pembiayaan berbasis
bagi hasil tersebut,bank islam sebagai investor ikut menanggung risiko atas
kerugian pengusaha yang dibiayai tersebut.
2. Relevansi
dengan Risiko Imbal Hasil dan Risiko Lainnya
Risiko investasi bisa terjadi akibat risiko operasional yang mungkin
timbul akibat kesalahan manusia, kesalahan itu disebabkan karena pelanggaran,
(fraud) dan/atau kelalaian (human error) karena kurangnya informasi dan
kesalahan dalam memilih debitur. Ini dapat menimbulkan kemungkinan para debitur
melakukan moral hazard atau mis-management dalam pengelolaan usahanya. Hal ini
mengakibatkan kinerja usahanya tidak membawa hasil seperti yang diharapkan.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut memaksa bank untuk mengabsorbsi sebagian
kerugian yang seharusnya ditanggung nasabah deposan agar nasabah tidak lari.
Pendistribusian imbal hasil yang menurun atau bahkan kerugian yang mungkin
diterima oleh nasabah ditutupi dengan bagian keuntungan yang seharusnya
diperoleh pemegang saham. Ini disebut dengan istilah displaced commercial risk. Mitigasi displaced commercial risk membuat bank mengorbankan ekuitasnya
sendiriuntuk menjaga tingkat bagi hasil yang dapat diberikan nasabah membuat
banyak masalah. Diantaranya adalah menurunya transparasi bank islam dalam
menyajikan secara andal mengenai apa yang sebenarnya terjadi, kerugian apa yang
sebenarnya terjadi kepada stakeholder bank
Islam. Jika kurangnya transparasi dalam penyajian laporan keuangan,hal ini akan
mengakibatkan turunnya reputasi bank Islam sebagai institusi yang memiliki
corporate governance yang baik.apabila reputasi bank Islam dipertanyakan,
lama-kelamaan akan mengakibatkan terjadinya penarikan dana oleh nasabah deposan
dan ini akan menimbulkan risiko likuiditas.
C. Bentuk Risiko Investasi dan Mitigasinya
1. Akad Mudharabah
Mudharabah
adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul
amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib)
dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan
kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul
maal dalam manajemen proyek.Sebagai orang kepercayaan, mudharib
harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi
akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul
maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk
menciptakan laba yang optimal.
Tipe mudharabah berdasarkan keleluasaannya adalajMudharabah
Mutlaqah: Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola
(mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik
dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan
pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
Mudharabah Muqayyadah: Dimana pemilik dana menentukan
syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan
jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
Berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko Keuntungan
dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya dan Kerugian
finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh
imbalan atas usaha yang telah dilakukan. Pemilik dana tidak diperbolehkan
mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari.[9]
a.
Faktor penentu investasi mudharabah
1)
Bank salah dalam menilai kemampuan debitur
dalam mengelola usaha yang biayai bank. Mitigasi resikonya adalah:
·
Membuat devisi kusus untuk validasi data dan
informasi.
·
Membuat devisi kusus yang menangani pembinaan
debitur dalam hal menejerial, motivasi dan spiritual.
·
Membuat standar disasi formulir kebutuhan
data / informasi yang di isi debitur
·
Konfirmasi dan validasi data atau informasi
yang disampaukan debitur
·
Meminta agungan atau jaminan
·
Membuat system pemeringkatan terintegrasi
dengan system seleksi dan penetapan kebijakan jangka waktu pembiayaan usaha,
tatacara pengembalian dana, pembagian keuntungan, bidang usaha yang dapat di
biayai dan sebagainya
·
Bekerja sama dengan lembaga pemerintah
independen untuk memeringkat debitur secara berkala
2)
Debitur melakukan moral hazard
·
Bank perlu mengenal lebih jauh debiturnya
dengan menerapkan prinsip KYC secara khonperensip.jika diperlukan,mudhorobah
hanya bisa dilakukan dengan debitur yang sebelumnya sudah memiliki pengalaman
bertran saksi dengan bank dan memiliki track record yang baik
·
Bank perlu memastikan bahwa debitur memiliki
kemampuan yang memadahi dalam menyusun laporan keuangan dan laporan aktifitas
lain yang diperlukan sebagai pertanggung jawaban
·
Bank perlu memastikan bahwa debitur sudah
menggunakan dana yang diberikan bank untuk usaha atau keperluan lain yang tidak
bertentangan dengan yang disepakati dengan akad.hal ini bisa dilakukan dengan
menjaga hubungan baik melalui mekanisme pengawasan berkala untuk memastikan
bahwa debitur sudah menjalankan usahanya dengan jujur dan evisien.
·
Bank dapat melibatkan debitur dalam
menentukan nisbah bagi hasil agar debitur memiliki keterikatan morak dalam
melaksanakan akad mudhorobah
3)
kebijakan agunan perlu disesuaikan dengan
tingkat kredibilitas debitur.
·
Debitur tidak menyerahkan bagi hasil sesuai
perhitungan yang di sepakati
·
Bank tetap mengakui haknya sebagai “
pendapatan bagi hasil “ dan “piutang bagi hasil”
·
Bank tetap mengusahakan agar debitur
menyerahkan bagi hasil bank sebagai mana bank mengusahakan pengembalian atas
piutang yang lain.[10]
2. Akad Musyarakah
Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah bentuk umum dari usaha
bagi hasil di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen
usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi
modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja
sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama
dengan memadukan seluruh sumber daya.[11]
Dewan syariah Nasional MUI dan PSAK No. 106 mendefinisikan musyarakah
sebagai akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu , di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
ketentuan dana bahwa keuntungan dibagi berdasarkan porsi kontribusi dana.
Para mitra bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai sebuah
usaha tertentu dalam masyarakat, baik usaha yang sudah berjalan maupun yang
baru, apabila salah satu mitra dapat mengembalikan dana tersebut dan bagi hasil
yang telah disepakati nisbahnya secara bertahap atau sekaligus kepada mitra
lain.
Investasi musyarakah dapat dalam bentuk kas, setara kas atau aset
nonkas. Musyarakah merupakan akad kerja sama di antara para pemilik modal yang
mencampurkan modal mereka dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam musyarakah,
para mitra sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu dan
bekerja bersama mengelola usaha tersebut.
Dimana modal yang ada harus digunakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau dipinjamkan pada pihak lain tanpa seizin mitra lainnya.
Setiap mitra harus memberi kontribusi dalam pekerjaan dan Ia menjadi wakil mitra lain juga sebagai agen bagi usaha kemitraan. Sehingga seorang mitra tidak dapat lepas tangan dari aktivitas yang di lakukan mitra lainnya dalam menjalankan aktivitas bisnis yang normal.
Dimana modal yang ada harus digunakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau dipinjamkan pada pihak lain tanpa seizin mitra lainnya.
Setiap mitra harus memberi kontribusi dalam pekerjaan dan Ia menjadi wakil mitra lain juga sebagai agen bagi usaha kemitraan. Sehingga seorang mitra tidak dapat lepas tangan dari aktivitas yang di lakukan mitra lainnya dalam menjalankan aktivitas bisnis yang normal.
Dengan bergabungnya dua orang atau lebih
hasil yang diperoleh diharapkan jauh lebih baik dibandingkan jika dilakukan
sendiri karena di dukung oleh kemampuan akumulasi modal yang lebih besar,
relasi bisnis yang lebih luas, keahlian yang lebih beragam, wawasan yang lebih
luas, pengendalian yang lebih tinggi, dsb.
Apabila usaha
tersebut untung maka keuntungan akan dibagikan kepada para mitra sesuai
dengan nisbah yang telah disepakati (baik persentase maupun periodenya harus
secara tegas dan jelas ditentukan di dalam perjanjian), sedangkan bila rugi
akan didistribusikan kepada para mitra sesuai dengan porsi modal dari setiap
mitra. Hal tersebut sesuai dengan prinsip system keuangan syariah yaitu
pihak-pihak yang yang terlibat dalam suatu transaksi harus bersama-sama
menanggung (berbagi) risiko.
Pada dasarnya, atas modal yang ditanamkan tidak boleh ada
jaminan dari mitra lainnya karena bertentangan dengan prinsip untung muncul
bersama risiko (al ghunmu bi al ghurmi). Namun demikian, untuk mecegah mitra
melakukan kelalaian, melakukan kesalahan yang disengaja atau melanggar
perjanjian yang sudah disepakati, diperbolehkan meminta jaminan dari mitra lain
atau pihak ketiga.[12]
a.
Faktor
penentu dan mitigasi pada akad musyarakah
1)
Bank
salah dalam menilai kemampuan debitur dalam mengelolah usaha yang dibiayai oleh
bank
Mitigasi
resikinya
·
Membuat devisi kusus untuk validasi data dan
informkasi
·
Membuad devisi kusus yang menangani pembinaan
debitur dalam hal menejerial, motivasi dan spiritual.
·
Membuat standar disasi formulir kebutuhan
data / informasi yang di isi debitur
·
Konfirmasi dan validasi data atau informasi
yang disampaukan debitur
·
Membuat system pemeringkatan terintegrasi dengan
system seleksi dan penetapan kebijakan jangka waktu pembiayaan usaha, tatacara
pengembalian dana, pembagian keuntungan, bidang usaha yang dapat di biayai dan
sebagainya
·
Bekerja sama dengan lembaga pemerintah
independen untuk memeringkat debitur secara berkala
2)
Modal
yang diberikan debitur dalam asset non kas berbeda dengan harga pasar
Mitigasinya
·
Mengecek harga pasar asset non kas tersebut
·
Bekerjasama dengan lembaga appraiser atau
valuer independen untuk menilai asset non kas tersebut
3)
Melakukan moral hazard
·
Bank
perlu mengenal lebih jauh debiturnya dengan menerapkan prinsip kyc secara
khonperensip.jika diperlukan, mudhorobah hanya bisa dilakukan dengan debitur
yang sebelumnya sudah memiliki pengalaman bertran saksi dengan bank dan
memiliki track record yang baik
·
Bank perlu memastikan bahwa debitur memiliki
kemampuan yang memadahi dalam menyusun laporan keuangan dan laporan aktifitas
lain yang diperlukan sebagai pertanggung jawaban
·
Bank
perlu memastikan bahwa debitur sudah menggunakan dana yang diberikan bank untuk
usaha atau keperluan lain yang tidak bertentangan dengan yang disepakati dengan
akad.hal ini bisa dilakukan dengan menjaga hubungan baik melalui mekanisme
pengawasan berkala untuk memastikan bahwa debitur sudah menjalankan usahanya
dengan jujur dan evisien.
·
Bank dapat melibatkan debitur dalam
menentukan nisbah bagi hasil agar debitur memiliki keterikatan morak dalam
melaksanakan akad mudhorobah
·
Kebijakan agungan perlu disesuaikan dengan
tingkat kredibilitas debitur.
4)
Debitur
menyalah gunakan perannya sebagai patner dalam usaha bersama mitigasi resikonya
·
Meminta agungan atau jaminan
·
Kebijakan agungan perlu disesuaikan dengan
tingkan kredibilitas debitur
·
Membuat kebijakan biaya apa saja yang bisa
dikenakan keusaha musyarakah. Dengan demikian,debitur tidak dimungkinkan untuk
membebankan usaha musyarakhah dengan biaya-biaya yang tidak bermanfaat
·
Tidak menyerahkan bagi hasil sesuai
perhitungan yang di sepakati
·
Bank tetap mengakui haknya sebagai “
pendapatan bagi hasil “ dan “piutang bagi hasil”
·
Bank tetap mengusahakan agar debitur
menyerahkan bagi hasil bank sebagai mana bank mengusahakan pengembalian atas
piutang yang lain.[13]
D. Beberapa Isu Terkait Risiko Investasi pada Bank Islam
1. Dasar
Bagi Hasil
Ketentuan bagi hasil adalah sebagai berikut.
a. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad
dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
b. Besarnya rasio Bagi Hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang
diperoleh,
c. Bagi Hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila
usaha rugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak,
d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan,
e.
Tidak ada yang
meragukan keabsahan Bagi Hasil.[14]
Beberapa literatur menyebutkan bahwa hasil usaha yang menjadi
dasar perhitungan baggi hasil dapat mengacu pada salah satu dari beberapa jenis
pendapatan yaitu pendapatan bruto, atau pendapatan netto, atau laba operasi,
atau laba netto. Pada dasarnya bank boleh menggunakan prinsip bagi hasil (net
revenue sharing – pendapatan netto) maupun bagi untung (profit sharing –
laba netto) dalam pembagian hasil usaha dengan debiturnya.
Bagi hasil sebaiknya tidak dilakukan dengan menggunakan
acuan pendapatan bruto (omzet). Hai ini di dasarkan pada pertimbangan faktor
keadilan. Jik perhitungan didasarkan pada pendapatan bruto otomatis bank tidak
menanggung risiko adanya peningkatan harga pokok penjualan atau beban-beban
lainnya.semua ini hanya akan ditanggung oleh debitur, sementara bank hanya
tinggal menikmati bagi hasil atas omzet semata oleh karena itu, kondisi yang
paling ideal adalah bila bagi hasil didasarkan pada laba netto setelah
dikurangi beban-beban yang ada.dengan demikian, penganggungan risiko
bersama-sama antara bank dengan debitur lebih terlihat disini.[15]
2. Kebijakan
Profit Equalization Reserve ( PER) dan Investment Risk Reserve (IRR)
Pada
dasarnya PER (Profit Equalization Reserve) dan IRR (Investment Risk Reserve)
adalah sebuah Instrumen yang di gunakan untuk mengantisipasi kerugian dari
asset yang diinvestasikan, baik dari sisi Bank maupun dari pemilik rekening
simpanan/shaibul maal. Tujuannya adalah untuk memberikan tingkat
profitabilitas/kepastian yang lebih tinggi dari nature bisnis syariah, utamanya
Bank syariah yang cenderung memiliki tingkat volatilitas lebih dari daripada
Bank Konvensional dikarenakan implementasi transaksi-transaksi berakad
mudharabah/musyarakah. Dalam bahasa ekonomisnya adalah bahwa implementasi dari
PER dan IRR ditujukan untuk membantu mengelola tingkat Displaced Commercial
Risk (DCR) yang didefinisikan sebagai sebuah resiko yang muncul ketika Bank
Syariah berada dalam tekanan untuk memberikan hasil (return) yang lebih tinggi
kepada Investor/deposannya melebihi yang seharusnya diberikan berdasarkan
kontrak investasi sebelumnya. Banyak alasan yang dikemukakan terkait isu DCR
tersebut, salah satunya adalah masalah likuiditas Bank Syariah, dimana ketika
bagi hasil lebih rendah dari Bank Konvensional, dikhawatirkan akan terjadi “fund
flight” yang cukup besar dari Bank Syariah ke Bank Konvensional dikarenakan
suku bunga konvensional lebih tinggi dibanding imbal hasil Bank Syariah, dengan
demikian, likuiditas dari Bank-Bank Syariah tersebut menjadi semakin menipis.
Profit
equalization reserve (PER) sendiri menurut standar The Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) adalah sebagian dari
pendapatan kotor dari pendapatan murabahah yang dikeluarkan/disisihkan ,
sebelum mengalokasikannya ke bagian Mudharib dengan tujuan untuk memberikan
return/hasil yang lebih merata kepada pemilik rekening dan pemegang saham.
Sedangkan Investment Risk Reserve adalah sebagian dari pendapatan Investor yang
disesuaikan dengan cara mengurangi bagian dari pendapatan mudharib yang
bertujuan untuk menutupi kerugian-kerugian di masa yang akan datang pada sebuah
Investasi yang dibiayai dengan skema pembiayaan berbentuk/berakad bagi hasil.
Secara
prinsip, pada kontrak mudharabah, semua kerugian (disebabkan oleh resiko kredit
dan pasar) ditanggung oleh Investor, sedangkan profit/keuntungan dibagi antara
Investor dan mudharib secara proporsional sesuai kontrak. Namun, setiap
kerugian yang diakibatkan oleh “kesalahan dan kelalaian” (resiko operasional),
ditanggung oleh mudharib.
Namun
dengan diberlakukannya PER atau IRR, Bank Syariah dapat menjaga pembayaran
kepada investor tetap berada pada level “pasar” walaupun hasil aktual dari
asset yang diinvestasikan melampaui ataupun dibawah suku bunga pasar . PER yang
diakumulasikan tersebut yang sebenarnya ekuitas dari investor dan pemegang
saham dapat ditarik kemudian untuk meratakan imbal hasil ketika imbal hasil
dari sebuah investasi menurun, begitu pula dengan akumulasi IRR, yang
sebenarnya merupakan milik investor dapat digunakan untuk menutupi
kerugian-kerugian yang dapat saja muncul dimasa yang akan datang. Sebagai
tambahan, ketika akumulasi PER tidak mencukupi dalam memberikan imbal hasil
yang “selevel” dengan suku bunga pasar, Bank Syariah dapat saja memberikan
sebagian dari porsi pendapatan mereka kepada investor/depositor. Ketersediaan
informasi yang dipublikasikan oleh Bank Syariah dalam hal praktek PER dan IRR sangat
terbatas. Dalam sebuah analisa atas pengungkapan praktek tersebut (berdasarkan
laporan tahunan 2001 – 2003), hanya sekitar 30% saja dari bank-bank yang
disurvei, yang mengungkapkan jumlah PER dalam neraca mereka (sundararajan 2005).
Kebanyakan dari Bank Sentral, menyerahkan metodologi perhitungan mudharabah,
baik PER maupun IRR, ditentukan oleh kebijakan Bank-Bank Syariah itu sendiridan
tidak ada persyaratan pengungkapan tertentu pengawasan atas PER / IRR, selain
yang timbul dari standar akuntansi yang berlaku. [16]
3. Dukungan
IT dalam Menurunkan Fraud dan Moral Hazard pada Akad Berbasis Bagi Hasil
Fungsi teknologi informasi (IT) telah
mengalami perubahan dan perkembangan pesat pada dekade terakhir ini. Fungsi IT
yang semakin khusus mendorong setiap bank untuk membentuk bagian, departemen,
atau unit kerja khusus tersendiri. Walaupun struktur tersebut tergantung pada
berbagai factor misalnya skla bisnis dan beban kerja, tetapi unit kerja
tersebut mencerminkan 2 aspek kegiatan yaitu aspek pengembangan teknologi dan
aspek operasionalnya.
Fasilitas pengolahan data yang tersedia di
bank saat ini merupakan hasil kemajuan teknologi dan kebutuhan untuk
menjalankan operasi secara sistematis dan baik sesuai dengan aliran masuk dan
keluar dana bank. Fasilitas tersebut berfungsi untuk menangani, memilih,
menghitung, menyusun, melaporkan, dan mengirimkan informasi. Jadi penggunaan IT
di bank dimaksud adalah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi
pengelolaan data kegiatan usaha perbankan sehingga dapat memberikan hasil yang
akurat, benar, tepat waktu, dan dapat menjamin kerahasiaan informasi (sesuai
peraturan Bank Indonesia).[17]
Dalam
pelaksanaan akad berbasis bagi hasil mudharabah dan musyarakah adalah
volatilitas imbal balik yang bisa diperoleh bank yang stersnya akan
didistribusikan juga ke nasabah. Volatilitas ini bisa disebabkan karena adanya factor-faktor diluar
kendali debitur maupun bank ataupun karena adanya fraud atau moral hazard yang
dilakukan oleh debitur.Jika hal yang kedua yang terjadi maka bank perlu bersiap
instrument-instrumen pencegahan maupun pengurangan resiko yang mungkin
ditimbulkannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh bank adalah dengan meningkatkan dukungan IT
untuk meningkatkan kelengkapan informasi yang bisa diakses bank mengenai debiturnya
termasuk bagaimana cara mereka mengelola proyek yang biayai bank. Dukungan IT
dapat dilakukan dari yang termudah sampai yang terumit.IT juga dapat
meminimalisir resiko yang timbul dari moral hazard dan fraud. Dukungan IT dapat
melibatkan search angine dan dijaring social sampai pengadaan sisitem IT yang
terintegrasi antara bank dengan debitur.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Risiko
strategis adalah risiko yang terjadi akibat dari ketidakpastian dalam
pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusanstrategis serta kegagalan dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Risiko strategis sangat penting
untuk dimitigasi, factor-faktor yang menentukan risiko strategis adalah
perubahan peta persaingan bisnis, kurang tepatnya perumusan strategi, tuntutan
berinovasi,perubahan lingkungan makro, serta perubahan perilaku pemangku
kepentingan. Isu-isu relevan yang terkait dengan risiko strategis harus
diperhatikan, seperti menghindari terjadinya persaingan yang tidak sehat antar
bank Islam maupun dengan bank konvensional, serta perlu memperhatikan risiko
investasi, dimana risiko ini jugamerupakan salah satu indicator terjadinya
risiko strategis.
Ciri bank islam adalah adanya syirkan
dimana kerja sama ini berbagi risiko maupun keuntungan. Risiko disini merupakan
risiko investasi. Risiko investasi melekat pada pembiayaan seperti mudharabah,
musyarakah, musaqah, muzara’ah, dan mukharabah. Risiko investasi juga sangat
penting untuk dimitigasi karena risiko ini berkaitan dengan risiko-risiko lain
seperti risiko operasional,risiko transparansi, displaced commercial risk,
risiko penarikan dana, risiko anjloknya harga saham, risiko reputasi,sampai
risiko likuiditas. Beberapa isu terkait dengan risiko investasi pada bank Islam
yaitu dasar perhitungan bagi hasil,kebijakan profit equalization reserve (PER)
dan Investment risk reserve (IRR), serta dukungan IT dalam menurunkan fraud dan
moral hazard pada akad berbasis bagi hasil.
[1] Imam Wahyudi, Miranti Kartika Dewi, dkk, Manajemen
Risiko Bank Islam, (Jakarta : Salemba Empat, 2013) hal. 169
[2] www.bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1297:penilaian-prof, diunduh pada 26 Mei 2013
[4]
Fahmi Irham, Manajemen Resiko Teori, Kasus, dan
Solusi, (Bandung : Alfabeta, 2010), hal. 174
[6] Ikhwan Abidin Basri, Manajemen Risiko
Lembaga keuangan Syariah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2008), hal. 49
[9] id.m.wikipedia.org/wiki/Mudharabah, diunduh pada 28 Mei 2013
[11] id.m.wikipedia.org/wiki/Musyarakah, diunduh pada 28 Mei 2013
[12] http://andinurhasanah.wordpress.com/2012/12/26/akad-musyarakah/,diunduh pada tanggal
28 Mei 2013
[15] Imam Wahyudi, dkk. Ibid. Hal. 184-186
[17] http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/05/04/perkembangan-teknologi-komputer-di-perbankan/
, diunduh pada 26 Mei 1013
bagus sebagai pemahaman dasar risiko di bank syariah.
BalasHapusHalo, saya Ainah Ann, saat ini saya tinggal di indonesia. Saya hampir muak dengan kehidupan beberapa bulan yang lalu karena saya membutuhkan uang untuk membayar tagihan saya, dan karena situasi saya, saya sangat ingin mendapatkan pinjaman untuk membayar tagihan saya yang sudah dikeluarkan dan membiayai bisnis saya. Semua usaha saya untuk mendapatkan pinjaman dari perusahaan pinjaman swasta dan korporasi internet ini benar-benar sia-sia.
BalasHapusPoin terakhir saya untuk mengatakan selamat tinggal pada pencarian pinjaman adalah ketika Tuhan menyerahkan kepada saya sarana rezeki saya untuk bisnis dan mata pencaharian saya sampai saat ini, yang memberi saya pinjaman sebesar 750 juta Rupee Indonesia. Saya hanya harus bersaksi secara online ini karena saya tahu ada banyak orang di luar sana yang mencari jenis perbuatan baik ini, dan pada saat yang sama saya harus menceritakan dunia tentang kesempatan besar yang menanti mereka.
Mengamankan pinjaman tanpa jaminan, Tidak ada pemeriksaan kredit, tidak ada penandatanganan, dan tidak ada biaya pinjaman, hanya dengan tingkat bunga 2% saja dan rencana pembayaran dan jadwal yang lebih baik. Jangan buang waktu lagi, dan bayar tagihan Anda dengan bantuan Maureen Kurt Financial Service. Anda dapat menghubungi dia melalui (maureenkurtfinancialservice@gmail.com). Dia wanita yang baik hati dan kebajikan, jadi jangan takut untuk bertemu dengannya untuk meminta bantuan. Jika ada keraguan atau ketakutan, Anda selalu bisa menghubungi saya melalui ainahann10@gmail.com